Total Tayangan Halaman

Design by Ferry Muchlis Ariefuzzaman

Design by Ferry Muchlis Ariefuzzaman
Media Team for Atut's Success to be a Governor

Selasa, 07 Juli 2009

Golkar dalam Nurul Arifin, Ratu Atut


30 November 2007 - 11:45 WIB

Golkar dalam Nurul Arifin, Ratu Atut
Konon orang-orang Gunungkidul melihat pulung gantung beberapa hari sebelum bencana gempa berkekuatan 5,9 skala Richter mengguncang Yogyakarta. Sebentuk sasmita alam dalam wujud bola cahaya sebesar batok kepala berwarna biru kemerahan melayang-layang di angkasa. Sejak lama orang-orang Gunungkidul percaya pulung gantung sebagai pertanda musibah maha-dahsyat bakal tiba. Percaya atau tidak, banyak yang mati gantung diri setelah menyaksikan firasat gaib itu. Sejumlah penelitian perihal kecenderungan bunuh diri di Gunungkidul kerap dihubungkaitkan dengan mitos pulung gantung. Mereka memilih mati lebih dulu, sebelum petaka itu datang, toh nanti juga bakal mati.

Begitulah jalan aman yang ditempuh ayah Tini seperti dikisahkan novel Harga Seorang Wanita (2006) yang saya baca beberapa bulan lalu. Suatu malam, ayah Tini melihat pulung gantung meluncur dari langit dan jatuh di atap rumahnya. Esok pagi orang-orang Desa Wiloso menemukan mayat lelaki itu menggantung di dahan pohon jati, tak jauh dari rumahnya. Tak lama berselang, bala yang mereka takutkan sunggguh-sungguh tiba: Desa Wiloso terancam kelaparan. Panen gagal, wabah busung lapar berjangkit, kemarau berkepanjangan, sawah ladang retak-rengkah, sapi dan kambing kurus kering karena rumput sukar didapat. Orang-orang terpaksa makan tiwul. Tapi, bagi Simbok, itu bukan salah pulung gantung, bukan pula salah alam Gunungkidul yang tak ramah, melainkan sudah pepesthen, kepastian yang tak bisa dielakkan. Miskin, lapar, makan tiwul, dan bunuh diri adalah takdir. Menjanda setelah kematian suami juga takdir.

Di saat para pengarang kita sibuk membungkus cerita dengan aneka kemasan yang mengkilat, kinclong, sedap dipandang mata (tapi abai isi), pengarang buku itu justru mencibirkan segala macam permainan bentuk yang mengasyikkan itu. Ia justru menukik di kedalaman sumur kemelaratan di dusun-dusun Gunungkidul. Tengoklah peruntungan Simbok! Tersebab miskin, suaminya nekat gantung diri (meski dengan dalih pulung gantung). Karena miskin, Simbok jadi gundik pamong desa (Wirono), jadi babu dan pemuas berahi Bendoro. Wajah ayunya jadi bopeng, remuk tak berbentuk. Disiram air panas oleh Raden Sunartijah (istri Bendoro) saat tertangkap basah sedang mengeroki Bendoro.

Namun, pulung gantung tak pernah enyah dari hidup Simbok. Lagi-lagi bola cahaya biru kemerahan itu meluncur dari langit, jatuh di atap usang rumah gedeknya. Kali ini firasat perihal bala yang bakal menimpa Tini, anak perempuan satu-satunya. Simbok gelisah sejak Tini mohon izin untuk bekerja di Yogya. Dalam terawang batin Simbok, pesakitan Tini tinggal menunggu hari. Cepat atau lambat kembang desa Wiloso itu bakal ditimpa nestapa sebagaimana disasmitakan pulung gantung. Pelan-pelan terkuak juga rasa penasaran Simbok perihal Tini yang tiba-tiba ingin meninggalkan Gunungkidul. Benar! Ternyata niat merantau bukan kemauan Tini. Perempuan beranak satu itu tergadai pada Parman, juragan panti pijat di kawasan Gedongkuning. Ini ulah Jono, suami Tini. Jono harus menebus sepetak ladang yang tergadai. Bila tidak lekas ditebus, ladang akan berpindah tangan. Parman tak keberatan meminjamkan uang 10 juta rupiah, dengan syarat Tini harus bekerja di Griya Pijat Nikmat selama 5 tahun. Apa boleh buat, bagi Tini, ketergadaian tubuh dan dirinya itu mungkin sudah suratan, sebagaimana takdir Jono yang harus rela istrinya jadi sundal.

Sejak itu Tini bukan gadis desa yang lugu dan pemalu lagi. Ia berubah jadi perempuan pemberani. Tak gamang lagi bila berhadapan dengan laki-laki. Tini makin telaten memijat, makin piawai memuaskan hasrat menggebubung para lelaki hidung belang. Pelajaran pertama Tini di panti pijat itu adalah merelakan tubuhnya diperkosa Parman. Perempuan paling ayu di Desa Wiloso itu sama sekali tidak memberikan perlawanan saat tangan kasar Parman menerkam pinggang langsingnya.Untuk apa? Lambat laun tetap saja akan diperkosa. Jadi, dibiarkannya Parman melunaskan dendam masa lalu. Sebelum dipersunting Jono, Parman pernah datang ke Wiloso. Ia hendak memperistri Tini, tapi perempuan itu dalam genggaman Jono.

Berapakah takaran "harga" perempuan yang ditawarkan novel itu? Menimbang kebejatan Wirono, Bendoro, Jono, Parman, atau Andi yang meski berkenan menyelamatkan Tini (tapi menolak komitmen pernikahan), "jangan-jangan" tidak ada takaran harga bagi perempuan. Harga Simbok dan Tini hanya tergantung bagaimana para lelaki memperlakukannya. Seamsal barang rongsokan, tergantung bagaimana pengguna mengukur manfaatnya. Tak ada takaran harga pasti. Agaknya, di sinilah pentingnya realitas keterpurukan Simbok, Tini, dan Murti (anak perempuan Tini dari perkawinannya dengan Jono) yang digambarkan pengarang dengan cara bertutur bersahaja. Nestapa Tini seperti mendaur ulang luka lama Simbok. Bedanya, Tini bukan perempuan yang nrimo. Baginya, ketertindasan itu bukan karena pulung gantung (Tini bahkan tak percaya mitos konyol itu), bukan pula karena suratan takdir, melainkan karena ulah laki-laki. Maka, ia harus melawan, meski akhirnya tetap kalah (dikalahkan?). Puncak kemurkaan Tini terjadi pada sebuah malam jahanam saat ia menikamkan belati ke perut Jono, persis saat suaminya itu sedang berhimpitan dengan Suti, ronggeng dari Karangnongko. Alih-alih menebus gadaian pada Parman, Jono malah berniat menikah lagi dengan Suti. Digondolnya tabungan Tini selama bekerja hampir 5 tahun sebagai pemijat plus. Alhasil, Jono mati bersimbah darah di tangan istrinya sendiri, Tini meringkuk di penjara. Kalah jadi abu, menang jadi arang. Tak lama kemudian Simbok bunuh diri setelah melihat pulung gantung untuk ke sekian kalinya.

Nama pengarang buku itu sesungguhnya Ngarto Februana, tapi yang tertera di sampulnya hanya Februana (seakan-akan nama perempuan). Seolah-olah kata Ngarto terlalu ndeso dan kolot. Padahal realitas yang hendak digambar Ngarto memang ndeso, melarat, dan kampungan, bukan dunia teenlit, metropop yang banyak digandrungi akhir-akhir ini. Barangkali tema-tema seputar kemiskinan, kemelaratan, dan ketertindasan memang sedang "miring" harganya. Jadi, perlu dikemas sedemikian rupa agar laris di pasaran.... (*)

Entri Populer